Pandeglang, Nusantara Media – Warga Desa Cigondang, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengungkapkan kekecewaan atas pembagian kompensasi yang tidak adil pasca-insiden tumpahan batubara dari tongkang PT Trans Logistik Perkasa (TLP) pada Desember 2024. Insiden ini mencemari pantai, merusak lingkungan, dan mengganggu mata pencaharian warga. Banyak warga terdampak tidak menerima bantuan, sementara beberapa pihak tertentu justru mendapatkan kompensasi. “Ini bukan keadilan, ini pengkhianatan!” seru seorang warga, mencerminkan kemarahan atas dampak lingkungan yang meluas.
Pada 2 Desember 2024, tongkang TB Titan 27/BG Titan 14 milik PT TLP kandas di perairan Pulau Popole, Desa Cigondang, akibat cuaca buruk. Akibatnya, sekitar 7.300 metrik ton batubara tumpah ke laut, mengubah pantai menjadi hitam pekat, merusak terumbu karang, dan mengganggu kehidupan nelayan serta pemilik warung. Air laut bercampur batubara bahkan menyusup ke rumah warga, menyebabkan banjir berulang di Kampung Lantera dan Kalangsari. Meski PT TLP menjanjikan kompensasi melalui MoU dengan pemerintah desa, pelaksanaannya memicu protes karena tidak merata.
Jubaedah, warga KP Kalang Sari RT 01/07, mengeluhkan banjir air hitam bercampur pasir batubara yang merusak rumahnya. “Air laut masuk ke rumah, pasir batubara menyebabkan banjir. Saya kecewa karena tidak menerima kompensasi, padahal orang lain mendapatkannya,” ujarnya. Ia menyesalkan namanya tidak tercatat dalam pendataan desa meski terdampak langsung.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Oti Rusita dari RT 01/07 dan Fitrianti, pemilik warung UMKM bersertifikat, juga merasa dirugikan. “Limbah dan banjir menerpa kami lebih dulu karena dekat pantai, tapi kami tidak dapat kompensasi. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat bagian,” keluh Oti. Ketidakadilan ini memicu kecemburuan sosial di kalangan warga.
Tokoh masyarakat Kalangsari, Kusnadi, mengecam pembagian kompensasi yang diskriminatif. “Semua warga terdampak saat tongkang kandas. Kompensasi harus adil untuk yang berhak,” tegasnya. Ia menyebutkan bahwa meski telah ada pertemuan dengan camat, kapolsek, dan dinas lingkungan hidup, pencairan bantuan tetap tidak merata. “Ini perjuangan warga, bukan untuk oknum. Jika tidak didengar, kami akan menggelar audiensi ke pemerintah desa atau muspika untuk menuntut keterbukaan sesuai amanat UUD 1945: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Warga menuntut transparansi dalam pendataan dan distribusi kompensasi. Mereka mendesak pemerintah desa dan PT TLP segera mengevaluasi proses pembagian bantuan agar lebih adil. “Kami ingin kompensasi merata, entah sedikit atau banyak, asal sesuai dampak yang kami alami,” ujar Fitrianti. Jika tidak ada perbaikan, warga berencana menggelar aksi lanjutan untuk menegakkan keadilan.
Penulis : Redaksi