Peristiwa, Nusantara Media - Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 terus menunjukkan dampak dahsyatnya, dengan korban jiwa mencapai 969 orang per 10 Desember 2025. Peningkatan signifikan ini, sebagaimana dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencerminkan tantangan mendesak dalam penanganan darurat dan pemulihan jangka panjang. Di tengah upaya pemerintah yang masif, kerusakan infrastruktur dan lingkungan menuntut analisis mendalam agar tragedi serupa tak terulang.
Bencana ini bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, melainkan akumulasi kerentanan ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun. Deforestasi masif di kawasan hulu sungai, yang mencapai 1,4 juta hektare sejak 2016 di tiga provinsi tersebut, telah mengurangi kapasitas alam menyerap air hujan. Akibatnya, banjir bandang dan longsor menjadi lebih destruktif, mengubah permukiman menjadi lautan lumpur. Selain itu, ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan ilegal mempercepat degradasi daerah aliran sungai, seperti di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, di mana 72.938 hektare hutan hilang akibat 18 perusahaan. Kondisi ini memperburuk siklus hidrologi, di mana hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami kini gagal menahan limpasan air.
Perkembangan terkini menunjukkan korban meninggal tersebar tidak merata: 391 jiwa di Aceh, 340 jiwa di Sumatera Utara, dan 238 jiwa di Sumatera Barat. Sebanyak 254 hingga 262 orang masih hilang, sementara korban luka-luka mencapai 5.000 jiwa. Ratusan ribu warga mengungsi, dengan 831.000 di Aceh dan 45.000 di Sumatera Utara, menciptakan tekanan pada logistik dan sanitasi. Di sisi lain, kerusakan infrastruktur mencapai puncaknya: 157.900 unit rumah rusak, 1.200 fasilitas umum, 215 fasilitas kesehatan, 584 fasilitas pendidikan, 423 rumah ibadah, dan 498 jembatan hancur. Angka ini tidak hanya menghambat akses bantuan, tetapi juga mengancam pemulihan ekonomi lokal, di mana sektor pertanian dan pariwisata lumpuh total.
Upaya penanganan darurat oleh pemerintah dan tim SAR gabungan tetap intensif, meskipun medan sulit menjadi penghalang utama. Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan seluruh kementerian untuk mengerahkan sumber daya nasional, termasuk 50 helikopter dan pesawat angkut Hercules, guna distribusi logistik ke daerah terisolasi. Namun, tantangan logistik di wilayah seperti Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, masih tinggi, di mana akses darat baru pulih sebagian. Di sisi lain, bantuan dari organisasi seperti PBNU menambah kekuatan lapangan; Ketua Umum PBNU KH Miftachul Akhyar menggalang dana miliaran rupiah, diawali doa bersama dalam rapat pleno, dan berencana mengirim tim LPBI NU untuk rehabilitasi. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi penyaluran anggaran agar transparan, mencegah penyimpangan seperti pungli yang sempat viral di Jembatan Garoga.
"Kami telah menurunkan segala sumber daya negara untuk menangani bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pemerintah masih mampu, sehingga bantuan luar negeri belum dibuka," ujar Ketua DPR Puan Maharani dalam konferensi pers terkini. Pernyataan ini menegaskan komitmen nasional, meskipun anggota DPR seperti Endipat Wijaya menyindir rendahnya donasi publik, hanya Rp10 ribu per orang di media sosial. Di tingkat legislatif, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengusulkan pembentukan kementerian khusus bencana untuk koordinasi lebih efektif.
Analisis mendalam mengungkap bahwa bencana ini penting karena mencerminkan kegagalan tata kelola lingkungan jangka panjang. Dibandingkan longsor 2009 di Padang yang menewaskan 15 jiwa, skala 2025 ini 60 kali lipat, akibat deforestasi yang tak terkendali. Dampaknya ke depan berpotensi memperburuk kemiskinan, dengan proyeksi kerugian Rp50 triliun untuk rekonstruksi. Pegiat lingkungan mendesak moratorium izin tambang dan sawit, serta restorasi DAS kritis seperti Krueng Trumon di Aceh, di mana 43% hutan hilang sejak 2016. Tanpa intervensi tegas, siklus bencana akan berulang, mengancam bencana hidrometeorologi di wilayah lain seperti Jakarta.
Pemulihan pascabencana memerlukan pendekatan holistik: rehabilitasi infrastruktur dengan anggaran Rp13 triliun di Sumatera Barat saja, plus restorasi ekosistem untuk mengembalikan fungsi hidrologis. Harapan ke depan terletak pada kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan organisasi seperti BNPB, yang telah memetakan 52 kabupaten terdampak. Dengan transparansi dan kebijakan berkelanjutan, Indonesia dapat mengubah tragedi ini menjadi momentum transisi menuju ketahanan bencana. Simak update selengkapnya hanya di Nusantara Media.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!