Peristiwa, Nusantara Media - Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran kembali meningkat pada akhir 2025. Pasukan khusus AS menyita kargo komponen militer dari sebuah kapal yang berlayar dari China menuju Iran di Samudra Hindia.
Operasi rahasia ini terjadi pada November 2025. Selain itu, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan bahwa Teheran tetap membuka pintu diplomasi meskipun tidak mempercayai sepenuhnya sikap Washington.
Insiden penyitaan tersebut dilaporkan oleh beberapa media kredibel seperti The Wall Street Journal dan Reuters pada 12 Desember 2025. Di sisi lain, Iran terus menekankan komitmennya terhadap solusi damai sambil mempersiapkan pertahanan diri.
Latar belakang ketegangan ini bermula dari konflik singkat berdurasi 12 hari pada Juni 2025 antara Iran dengan Israel dan AS. Serangan tersebut merusak fasilitas nuklir dan rudal Iran secara signifikan.
Akibatnya, Teheran berupaya membangun kembali persenjataan balistiknya melalui jaringan pengadaan internasional. Operasi AS di Samudra Hindia merupakan bagian dari strategi Pentagon untuk mengganggu rantai pasok tersebut.
Pasukan khusus AS menaiki kapal kargo beberapa ratus mil dari pantai Sri Lanka. Mereka menyita barang-barang dual-use yang berpotensi digunakan untuk program rudal konvensional Iran.
Kargo tersebut kemudian dihancurkan, sementara kapal diizinkan melanjutkan perjalanan. Ini menandai intersepsi pertama dalam beberapa tahun terhadap pengiriman asal China yang ditujukan ke Iran.
Selain itu, operasi ini mencerminkan pendekatan maritim yang lebih agresif dari administrasi AS di bawah Presiden Donald Trump. Hal tersebut sejalan dengan penguatan sanksi PBB yang kembali diberlakukan pada September 2025.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi baru-baru ini menyatakan:
"Kami tidak ingin perang. Kami ingin menyelesaikan masalah melalui diplomasi."
Pernyataan tersebut disampaikan dalam wawancara pada Desember 2025. Araghchi menekankan bahwa Iran tetap berkomitmen pada program nuklir damai di bawah NPT, meskipun pengalaman buruk dengan AS, termasuk penarikan diri dari kesepakatan nuklir 2015 dan dukungan terhadap agresi Juni lalu.
Namun, ia menambahkan bahwa Washington harus mengakui hak Iran atas energi nuklir damai sebelum negosiasi serius dapat dilanjutkan.
Di sisi lain, insiden maritim serupa juga melibatkan Iran. Bulan November 2025, Pasukan Pengawal Revolusi Islam (IRGC) menyita kapal tanker asing di Teluk Oman atas tuduhan penyelundupan bahan bakar.
Hal ini menunjukkan pola saling balas di perairan strategis. Akibatnya, risiko eskalasi di Timur Tengah semakin tinggi.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa penyitaan kargo ini bukan sekadar tindakan isolasi, melainkan upaya strategis untuk melemahkan kemampuan pertahanan Iran jangka panjang.
Dengan Iran yang terus memperbarui stok rudal balistiknya, intersepsi semacam ini dapat memperlambat pemulihan arsenal Teheran. Namun, hal tersebut juga berpotensi memprovokasi respons lebih keras dari Iran atau sekutunya.
Selain itu, keterlibatan China sebagai sumber pengiriman menambah dimensi geopolitik baru. Ini memperburuk hubungan AS-China di tengah persaingan global.
Ke depan, situasi ini kemungkinan akan tetap tegang tanpa kemajuan diplomasi substantif. Iran bersikeras pada hak kedaulatannya, sementara AS mempertahankan tekanan maksimal untuk mencegah proliferasi senjata.
Harapan akan de-eskalasi bergantung pada kemauan kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan dengan jaminan saling percaya.
Simak update selengkapnya hanya di Nusantara Media.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!