Labuan, Nusantara Media – Ratusan warga Labuan, Banten, kembali menggelar ritual tahunan Khaul Kalembak di Masjid Agung Al Ittihad, Kamis (8/9).
Acara yang berlangsung khidmat ini menjadi momen refleksi atas tragedi dahsyat erupsi Gunung Krakatau tahun 1883, sekaligus sarana edukasi mitigasi bencana bagi generasi muda.
Ritual yang telah berjalan lebih dari satu abad ini kini mendapat sorotan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta media nasional, yang mendorongnya diusulkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dipimpin oleh H. Mochammad Salwa, keturunan langsung korban erupsi Krakatau, acara diisi dengan doa bersama, pembacaan sejarah bencana, dan pujian kepada Sang Pencipta.
Salwa menekankan, “Khaul Kalembak bukan sekadar tradisi, tapi pengingat bahwa kita hidup di wilayah rawan bencana. Kewaspadaan dan persatuan adalah kunci keselamatan.”
Khaul Kalembak (dalam bahasa Sunda Labuan berarti “terhantam gelombang besar” merujuk pada tsunami setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan Kampung Labuan pasca-erupsi Krakatau pada 26-27 Agustus 1883.
Ledakannya terdengar hingga 4.800 km, debu vulkaniknya menggelapkan langit selama empat hari, dan menewaskan 36.000 jiwa secara global—3600 di antaranya tercatat sebagai korban di Labuan. Mesjid kebanggaan warga kala itu pun musnah diterjang gelombang.
“Ritual ini adalah bentuk “collective memory” warga. Meski korban langsung sudah tiada, cucu dan cicit mereka tetap menjaga tradisi ini agar sejarah tak terulang,” ujar peneliti BRIN yang hadir dalam acara.
BRIN menilai Khaul Kalembak layak diangkat sebagai warisan budaya karena memadukan nilai spiritual, kearifan lokal, dan kesadaran bencana.
Selain doa, acara ini menjadi medium edukasi tentang ancaman Krakatau yang masih aktif, termasuk erupsi 2018 lalu. Warga diajak memetakan jalur evakuasi dan menyimpan dokumen penting di tempat aman.
“Kami ingin anak-anak paham: merawat tradisi ini berarti juga siap siaga menghadapi bencana,” tambah Salwa.
Ritual yang berlangsung pukul 14.30 hingga jelang azan Ashar ini dihadiri lintas generasi, termasuk masyarakat non-korban.
“Ini bukti solidaritas. Bencana bisa datang kapan saja, dan kita harus bersatu,” ujar Siti (45), salah satu peserta.
Meski telah bertahan 140 tahun, ancaman pudarnya ritual ini nyata. Minimnya dokumentasi dan partisipasi generasi muda menjadi tantangan.
BRIN berjanji mendukung pendokumentasian sejarah lisan dan integrasi konten Khaul Kalembak ke kurikulum sekolah. “Kami akan mengadvokasi pengusungannya ke Kemendikbudristek,” tegas perwakilan BRIN.
Sebagai penutup, Salwa berpesan: “Selama laut masih beriak dan Krakatau masih berdiri, Khaul Kalembak harus tetap hidup. Ini warisan leluhur yang menyelamatkan nyawa.”
Penulis : Tim Nusantara.media