Sukamahi, Cikarang Pusat, pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi, tengah menghadapi krisis kualitas udara. Data Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien (SPKUA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mencatat Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) berstatus Tidak Sehat selama 12 hari dari 1 April hingga 12 Juni 2025. Kondisi ini mengkhawatirkan masyarakat, mengingat Sukamahi merupakan pusat aktivitas, termasuk kantor bupati, pelayanan publik, sekolah, dan perkantoran.
Jurnalis Pecinta Alam dan Peduli Bencana (JURPALA) Indonesia mengkritik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi atas ketidaktegasan mereka. “DLH terkesan lamban. Jika udara di pusat pemerintahan buruk, bagaimana nasib wilayah lain?” kata seorang aktivis JURPALA. Mereka menilai DLH kurang tegas mengawasi pelaku pencemar, lemah menindak pelanggaran, dan minim mengedukasi publik tentang risiko polusi udara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi KLH/BPLH menyebut emisi kendaraan bermotor menyumbang 57% polusi udara di Jabodetabek, termasuk Sukamahi, pada musim kemarau. Faktor lain meliputi industri berbahan bakar batubara, pembakaran sampah, debu konstruksi, dan aerosol sekunder. Tiga perusahaan logam, PT SAS, PT WBLS, dan PT ZNETI, telah menerima sanksi dan disegel karena mencemari udara.
Polusi udara mengancam kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penderita gangguan pernapasan. KLH merekomendasikan pembatasan aktivitas luar ruangan saat ISPU >100, penggunaan masker N95/KN95 saat ISPU >200, dan penyediaan ruang aman di fasilitas publik.
KLH/BPLH menegaskan komitmen mereka untuk mitigasi polusi. Namun, mereka mendesak DLH Bekasi bertindak lebih tegas melalui patroli lingkungan intensif, transparansi data ISPU, dan langkah nyata menjaga kualitas udara Sukamahi.
Penulis : David