Masyarakat Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, berjuang melawan keterbatasan akses pendidikan. Mereka mendirikan sekolah dasar sementara secara swadaya untuk anak-anak di wilayah terpencil ini. Sekolah berusia satu tahun ini menjadi harapan baru. Namun, anak-anak harus berjalan kaki 2-3 jam melewati medan sulit untuk mencapai sekolah negeri terdekat.
Sekolah ini berdiri di lahan milik Perhutani, menciptakan tantangan hukum. Banyak anak, bahkan usia 14 tahun, belum pernah sekolah karena minimnya infrastruktur. Warga membangun sekolah sederhana dengan fasilitas terbatas. Guru-guru, kebanyakan relawan lokal, mengajar dengan semangat. Namun, status lahan dan kurangnya fasilitas mengancam keberlangsungan sekolah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami ingin anak-anak kami bisa membaca dan menulis. Kami gotong royong demi masa depan mereka,” kata Suryadi, tokoh masyarakat, dengan penuh harap.
Data Dinas Pendidikan Pandeglang menunjukkan kekurangan sekolah dasar di wilayah seperti Cibaliung. Satu sekolah negeri melayani ribuan anak usia sekolah. Akibatnya, banyak anak putus sekolah atau tidak pernah belajar. Kondisi ini mencerminkan ketimpangan pendidikan di daerah terpencil Indonesia.
Warga Cibaliung meminta pemerintah bertindak cepat. Mereka membutuhkan sekolah resmi, guru berkualitas, dan solusi untuk status lahan. “Kami ingin anak-anak kami punya kesempatan seperti anak kota,” ujar Suryadi.
Kisah Cibaliung mengingatkan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak Indonesia. Jarak, kemiskinan, atau birokrasi tidak boleh menghalangi. Pemerintah harus segera membawa solusi agar pendidikan menjangkau pelosok negeri. Harapan anak-anak Cibaliung bergantung pada tindakan nyata.
Penulis : Redaksi