Teknologi, Nusantara Media - Pada 9 Desember 2025, perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi semakin mendominasi agenda global, dengan proyeksi bahwa 90% aplikasi perusahaan akan mengadopsi AI pada akhir tahun ini. Di Indonesia, forum seperti SMBC Indonesia Tech Connect baru-baru ini menyoroti penerapan AI di sektor keuangan untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi. Namun, di balik kemajuan ini, kekhawatiran atas hilangnya lapangan kerja mencapai 77.999 posisi di sektor teknologi sepanjang 2025, mendorong urgensi regulasi yang etis. Analisis mendalam ini mengungkap latar belakang, dampak terkini, serta prospek ke depan bagi Indonesia sebagai pusat inovasi regional.

Perkembangan AI dan otomatisasi telah menjadi tren utama sejak awal 2025, dengan adopsi yang meluas di berbagai sektor. Menurut laporan UiPath, agen AI otonom kini menjadi fondasi operasional, memungkinkan perusahaan merevolusi model bisnis mereka melalui kolaborasi antara manusia dan mesin. Selain itu, hyperautomation—kombinasi AI, machine learning, dan robotic process automation—diprediksi akan mengotomatisasi proses end-to-end, meningkatkan produktivitas hingga lima kali lipat di infrastruktur data streaming. Di sisi lain, tantangan data berkualitas rendah sering menghambat implementasi, seperti pada Retrieval-Augmented Generation (RAG) yang memerlukan fondasi informasi terstruktur. Akibatnya, pemimpin informasi global kini fokus membangun infrastruktur data untuk mendukung evolusi ini, sebagaimana dibahas di AI+IM Global Summit 2025.

Pada 9 Desember 2025, peristiwa terkini menegaskan urgensi adaptasi. Presiden AS Donald Trump mengumumkan executive order untuk menciptakan aturan nasional tunggal bagi AI, bertujuan menggantikan keragaman regulasi negara bagian yang dianggap menghambat inovasi. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat kerangka Indonesian Banking Artificial Intelligence Governance pada April 2025, memastikan pengelolaan risiko AI di bank tetap aman dan transparan. Sementara itu, SMBC Indonesia Tech Connect pada 24 November 2025 membahas bagaimana AI mengubah operasional keuangan, dari analisis data hingga personalisasi layanan, dengan partisipasi pakar seperti Irzan Raditya dari Kata.ai. Perkembangan ini tidak hanya mempercepat transformasi digital, tetapi juga menekankan kolaborasi publik-swasta untuk mengatasi ketimpangan akses teknologi.

Kekhawatiran utama muncul dari potensi penggantian lapangan kerja oleh AI, yang telah menyerap 76.440 posisi global pada 2025, terutama di bidang layanan pelanggan (80% risiko otomatisasi) dan entri data. Di sektor teknologi, 92% pekerjaan IT berisiko transformasi, dengan pemangkasan tenaga kerja mencapai 41% di kalangan pemberi kerja dunia dalam lima tahun ke depan. Di sisi lain, Goldman Sachs memperkirakan dampaknya bersifat sementara, dengan peningkatan pengangguran hanya 0,5% selama transisi, diikuti penciptaan 97 juta pekerjaan baru seperti spesialis etika AI. Mengapa ini penting? Karena disparitas gender terlihat jelas, dengan 58,87 juta perempuan AS di posisi rentan, menuntut program upskilling segera untuk mencegah ketidaksetaraan yang lebih dalam.

Regulasi menjadi kunci untuk mengelola risiko etis dan transparan. Di AS, Executive Order 14179 pada Januari 2025 mencabut kebijakan sebelumnya demi dominasi AI global, sementara Colorado AI Act Februari 2025 mewajibkan evaluasi sistem keputusan otomatis berisiko tinggi. Di Eropa, EU AI Act mulai berlaku Agustus 2025, menekankan prinsip keamanan dan akuntabilitas. Bagi Indonesia, kerjasama dengan OECD pada Desember 2025 menghasilkan panduan AI bertanggung jawab di fintech, selaras dengan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025-2030. Dampaknya? Regulasi ini mendorong inovasi berkelanjutan, tetapi tanpa koordinasi global, ancaman seperti deepfake politik dan bias algoritma dapat memperburuk ketidakstabilan sosial.

Penerapan AI di sektor keuangan menawarkan peluang inklusi yang signifikan, terutama di Indonesia. Forum SMBC Indonesia Tech Connect menekankan bagaimana AI meningkatkan deteksi penipuan dan penilaian kredit, dengan pendapatan fintech ASEAN mencapai USD 8,6 miliar pada 2025. Bank seperti SMBC menggunakan agen AI untuk CFO, mempercepat pengambilan keputusan sambil memperluas akses perbankan di Asia Tenggara. Di sisi lain, proposal sovereign AI fund senilai miliaran dolar dari Danantara Indonesia bertujuan menjadikan negeri ini sebagai hub regional, dengan insentif fiskal untuk investor domestik. Bandingkan dengan tren global: sementara 63% organisasi merencanakan adopsi AI, hanya 3% mencapai otomatisasi matang, menunjukkan peluang bagi Indonesia untuk melompat ke depan melalui kolaborasi dengan OJK dan mitra internasional.

Kutipan dari Michellina Laksmi Triwardhany, Wakil Direktur Utama SMBC Indonesia, pada Tech Connect 2025: “AI bukan lagi tren, melainkan fondasi masa depan industri keuangan. Kami berkomitmen berinovasi untuk layanan yang lebih baik bagi nasabah, memperkuat posisi Jenius sebagai solusi life finance bagi masyarakat digital-savvy.” Pernyataan ini mencerminkan optimisme, di mana AI mengoptimalkan perjalanan konsumen tanpa mengorbankan keamanan. Sementara itu, Irzan Raditya dari Kata.ai menambahkan: “Dengan regulasi siap dan kolaborasi kuat, industri perbankan Indonesia dapat mencapai pemanfaatan AI yang relevan dengan kebutuhan lokal.” Kutipan ini menyoroti potensi ekosistem teknologi Indonesia untuk transformasi inklusif.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa AI dan otomatisasi bukan sekadar pengganti pekerjaan, melainkan katalisator pertumbuhan. Dibandingkan dengan revolusi industri sebelumnya, di mana 60% pekerjaan AS saat ini tidak ada pada 1940, AI diproyeksikan menciptakan 170 juta posisi baru hingga 2030 meski menggeser 92 juta. Dampak ke depan bagi Indonesia meliputi peningkatan inklusi finansial hingga 84%, didorong oleh chatbot AI seperti Sabrina dari Bank Rakyat Indonesia yang melayani jutaan nasabah. Namun, tanpa upskilling massal—seperti kurikulum AI di sekolah dasar mulai 2025—risiko disparitas regional dapat melemahkan manfaatnya. Oleh karena itu, kebijakan seperti sovereign AI fund harus diprioritaskan untuk memastikan manfaat merata.

Secara keseluruhan, tren AI 2025 menjanjikan efisiensi dan inovasi, tetapi menuntut keseimbangan antara pertumbuhan dan perlindungan sosial. Dengan regulasi yang matang dan investasi strategis, Indonesia berpotensi memimpin ASEAN dalam inklusi finansial berbasis AI, di mana otomatisasi justru memperkaya kehidupan manusia. Prediksi ke depan: adopsi AI akan naik 120% secara tahunan, menciptakan ekosistem yang lebih adaptif jika didukung kolaborasi global. Harapan terbesar adalah transisi yang adil, di mana teknologi memperkuat, bukan menggantikan, potensi manusia. Simak update selengkapnya hanya di Nusantara Media.