Di tengah krisis ekonomi yang melanda masyarakat Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, sebuah rumah toko (ruko) megah berukuran empat pintu dan tiga lantai mencuri perhatian publik. Ruko ini milik mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Lingga, Safaruddin, dan berdiri di lokasi strategis, tepat di depan Masjid Darul Hikmah serta dekat Kantor Pegadaian Sawin Daek, Kabupaten Lingga. Namun, proyek ini memicu kontroversi karena tidak memasang papan proyek, yang merupakan simbol transparansi dalam pembangunan di Indonesia.
Warga Daek Lingga mengkonfirmasi bahwa Safaruddin memiliki ruko tersebut, meskipun beberapa spekulasi menyebutkan aset ini terdaftar atas nama istrinya, Maya Sari, yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Lingga periode 2024-2029. “Orang bilang ruko ini milik Safaruddin, tapi ada juga yang menyebut nama Maya, istrinya. Mereka kan suami-istri,” ungkap seorang warga yang enggan menyebutkan identitasnya, seperti dikutip dari berbagai sumber berita lokal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lokasi ruko yang strategis di pusat kegiatan ekonomi Lingga menjadikannya ideal untuk usaha komersial. Dengan estimasi nilai proyek mencapai miliaran rupiah, kemegahan bangunan ini kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat kenaikan harga bahan pokok dan menurunnya daya beli pasca-pandemi.
Kemewahan ruko ini memicu pertanyaan besar di kalangan warga: Bagaimana Safaruddin, seorang mantan pejabat publik, mampu mendanai proyek sebesar ini? “Rakyat kesulitan membeli beras, tapi kok bisa membangun ruko megah seperti itu?” tanya seorang warga. Publik menyoroti ketidaksesuaian antara kondisi ekonomi daerah dan aset pribadi mantan pejabat ini.
Safaruddin, sebagai mantan pejabat publik, wajib melaporkan harta kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, belum ada konfirmasi resmi apakah ruko ini tercantum dalam LHKPN terbarunya. Pengamat antikorupsi menilai ketidaktransparanan LHKPN sering menjadi celah penyalahgunaan wewenang. Kasus serupa, seperti LHKPN janggal Wakil Ketua DPRD Langkat yang hanya melaporkan Rp20 juta meski memiliki aset mewah, menjadi contoh nyata.
Selain sumber dana, warga mempertanyakan legalitas ruko ini. Apakah bangunan ini telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lingga? Tanpa dokumen legal yang jelas, dugaan pelanggaran hukum semakin kuat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pelanggaran izin dapat berujung pada sanksi administratif hingga pidana.
Kontroversi ruko ini bukanlah yang pertama bagi Safaruddin. Ia pernah terseret dalam sejumlah kasus dugaan korupsi yang hingga kini belum menemui titik terang. Berikut beberapa kasus yang melibatkan namanya:
– Kasus Dugaan Korupsi APBD: Safaruddin diduga terlibat dalam penyalahgunaan anggaran DPRD Lingga.
– Pengelolaan Dana Publik: Beberapa proyek yang melibatkan dana publik diduga bermasalah selama masa jabatannya.
Kasus-kasus ini menunjukkan pola dugaan korupsi yang berulang, memicu tudingan bahwa Safaruddin “kebal hukum”.
Masyarakat Lingga menuntut transparansi penuh mengenai sumber dana pembangunan ruko ini serta penyelesaian cepat kasus-kasus yang melibatkan Safaruddin. Ketiadaan tindakan tegas dari Aparat Penegak Hukum (APH) berisiko meruntuhkan kepercayaan publik terhadap DPRD Lingga dan lembaga penegak hukum.
Presiden RI telah menegaskan komitmen untuk memberantas korupsi dan praktik premanisme politik. Namun, di Kepulauan Riau, dugaan pelaku seperti Safaruddin masih belum tersentuh hukum. Publik mempertanyakan: Sampai kapan aparat hukum membiarkan situasi ini berlarut?
Kasus ruko megah Safaruddin menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan ketat terhadap pejabat publik, terutama di daerah rawan korupsi seperti Lingga. Transparansi LHKPN, penegakan hukum yang tegas, dan pengawasan terhadap proyek pembangunan menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Penulis : Awang Sukowati
Editor : Admin