Lingkungan, Nusantara Media - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengerahkan empat ekor gajah Sumatra terlatih bernama Abu, Mido, Ajis, dan Noni untuk membersihkan puing kayu pasca banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya. Inisiatif ini, yang dimulai pada 8 Desember 2025, menekankan sinergi antara konservasi satwa dan respons bencana, dengan protokol ketat untuk menjaga kesejahteraan hewan.

Selain itu, operasi di Gampong Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua, dirancang untuk mempercepat pemulihan lingkungan di area sulit dijangkau alat berat. Namun, analisis lebih dalam mengungkap potensi dampak psikologis pada gajah, meski tim BKSDA telah melakukan survei aksesibilitas dan keamanan sebelumnya. Pendekatan ini mengingatkan pada pemanfaatan serupa pasca-tsunami 2004, di mana gajah terbukti efektif namun memerlukan pengawasan intensif.

Protokol kesejahteraan menjadi pondasi utama. Rute transportasi menggunakan truk langsir untuk menghindari perjalanan panjang, sementara area istirahat dilengkapi pakan bergizi, suplemen kesehatan, dan pemantauan dokter hewan. Delapan mahout, personel Polisi Kehutanan, serta tim medis lapangan mendampingi, didukung pengawalan polisi penuh. Durasi tugas dibatasi hingga 14 Desember 2025, memungkinkan gajah berkontribusi pada evakuasi, pengiriman logistik, dan bahkan trauma healing bagi anak-anak korban.

Kepala BKSDA Aceh, Ujang Wisnu Barata, menyoroti harmoni manusia-satwa dalam pendekatan ini. "Keempat gajah terlatih diangkut menggunakan truk langsir dari tempat tambat menuju lokasi target penanganan, hal ini dilakukan untuk keamanan dan keselamatan gajah termasuk menghindari stres sebelum mendukung penanganan area terdampak banjir," ujarnya.

Analisis lebih lanjut dari perspektif konservasi menunjukkan manfaat jangka pendek, seperti pembukaan akses jalan yang mempercepat bantuan bagi 500 rumah terdampak. Namun, dibandingkan dengan metode modern seperti drone mapping di bencana serupa di Jawa, pendekatan gajah lebih adaptif di medan berlumpur. Kritik dari aktivis, seperti Sherina Munaf yang menyebut gajah "bukan alat berat", menekankan risiko fragmentasi habitat yang memperburuk status rentan gajah Sumatra.

Dalam konteks global, inisiatif ini mirip program WWF di Thailand pasca-banjir 2011, di mana gajah membantu 20% lebih efisien di zona hutan. Di Aceh, kolaborasi dengan Polres Pidie Jaya tidak hanya membersihkan puing, tapi juga mendukung pencarian korban hilang. Data BKSDA mencatat nol insiden stres pada gajah selama fase awal, berkat pasokan air mobile dan istirahat terjadwal.

Sementara itu, prospek masa depan melibatkan pelatihan lebih lanjut untuk gajah di Pusat Latihan Gajah Saree. Bandingkan dengan upaya restorasi mangrove di Aceh Utara, yang mengurangi banjir hingga 30%, inisiatif ini memperkuat narasi pelestarian. Elephas maximus sumatranus, dengan populasi kurang dari 1.700 ekor, mendapat manfaat dari eksposur positif ini.

Secara keseluruhan, keberhasilan operasi BKSDA Aceh menegaskan potensi satwa liar dalam mitigasi bencana, asal prioritas kesejahteraan terjaga. Harapan ke depan adalah integrasi teknologi seperti GPS tracking untuk monitoring gajah, memastikan kontribusi berkelanjutan tanpa eksploitasi. Untuk bacaan terkait konservasi, kunjungi nusantara.media.