Nusantara Media – Di era pemerintahan Prabowo-Gibran, keberadaan Staf Khusus dalam struktur pemerintahan kembali menjadi sorotan.
Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri mengangkat banyak pejabat secara langsung, sehingga masyarakat mempertanyakan efektivitas serta urgensi posisi-posisi ini.
Apakah mereka benar-benar berkontribusi terhadap kebijakan negara, atau justru hanya menjadi simbol bagi politik balas budi?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak pemerintahan Mantan Presiden Jokowi, masyarakat sering memperdebatkan penunjukan Staf Khusus karena pemerintah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit.
Kini, pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung janji efisiensi dan reformasi birokrasi, sehingga publik menantikan perubahan nyata dalam sistem penunjukan dan pengawasan Staf Khusus.

Apa Itu Staf Khusus?
Staf Khusus Menteri adalah jabatan individu yang diangkat oleh presiden yang ditugaskan untuk membantu seorang menteri dalam membantu memberikan masukan, analisis, serta saran dalam kebijakan dan program kementerian tersebut.
Jabatan ini bersifat non struktural dan tidak termasuk dalam sistem jabatan formal pemerintahan.
Berbeda dengan pejabat eselon yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas dalam struktur birokrasinya, staf khusus berperan lebih fleksibel dan luwes dalam mendukung kebijakan menteri.
Selain di tingkat kementerian, Presiden dan Wakil Presiden juga memiliki Staf Khusus dengan tugas yang kurang lebih serupa.
Bahkan, beberapa kepala daerah turut menunjuk staf khusus sebagai bagian dari tim penasihat mereka untuk membantu dalam pengambilan keputusan strategis di tingkat daerah.

Dasar Hukum Staf Khusus
Pengangkatan Staf Khusus Menteri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara.
Dalam Pasal 68 aturan tersebut, seorang menteri dapat mengangkat maksimal lima orang staf khusus. Struktur jabatan staf khusus ini setara dengan pejabat Eselon I di kementerian, yang berarti mereka memiliki posisi strategis dalam mendampingi menteri.
Hak Keuangan dan Fasilitas Staf Khusus
Keberadaan Staf Khusus Menteri menjadi bagian penting dalam struktur pemerintahan, dengan hak keuangan dan fasilitas setara pejabat Eselon I.b atau Pimpinan Tinggi Madya, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Perpres Nomor 68 Tahun 2019.
Jabatan ini masuk dalam golongan IV PNS, dengan tingkat tertinggi IV/e dan terendah IV/d.
Berdasarkan Perpres Nomor 10 Tahun 2024, gaji pokok seorang Staf Khusus Menteri berada di kisaran Rp3.880.400 – Rp6.373.200, tergantung golongan dan masa kerja.
Namun, selain gaji pokok, mereka juga menerima tunjangan kinerja yang sangat besar, sebagaimana terlihat dalam grafik berikut:
- Gaji Total Tertinggi: Rp27.068.200
- Gaji Total Nilai Tengah: Rp25.821.800
- Gaji Total Terendah: Rp24.575.400

Sumber: Perpres Nomor 10 Tahun 2024, Perpres Nomor 104 Tahun 2018
Tunjangan kinerja yang besar membuat total pendapatan mereka mencapai puluhan juta rupiah setiap bulannya.
Beban Anggaran yang Tidak Kecil

Negara mengalokasikan anggaran besar untuk membiayai gaji, tunjangan, dan fasilitas Staf Khusus.
Dalam beberapa kasus, pejabat tinggi negara mengangkat belasan staf, memunculkan pertanyaan apakah mereka benar-benar diperlukan?
Publik kerap meragukan efektivitas dan kontribusi mereka dalam pemerintahan. Meski menerima penghasilan besar, tidak semua Staf Khusus menunjukkan kinerja yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Seiring bertambahnya jumlah Staf Khusus di berbagai kementerian dan lembaga, beban anggaran negara semakin berat.
Hal ini memicu kritik dan perdebatan mengenai urgensi keberadaan mereka dalam sistem pemerintahan.
Minimnya Transparansi dan Akuntabilitas
Salah satu kritik utama terhadap keberadaan Staf Khusus adalah kurangnya transparansi dalam penunjukan serta kinerja mereka.
Publik sering kali tidak mendapatkan laporan yang jelas tentang tugas-tugas yang mereka lakukan atau dampak konkret dari keberadaan mereka dalam pemerintahan.
Tidak sedikit kasus di mana Staf Khusus justru terlibat dalam skandal politik, konflik kepentingan, hingga dugaan korupsi.
Sebagai contoh, pernah ada kasus Staf Khusus Presiden terlibat dugaan pelanggaran etika dan konflik kepentingan dalam bisnisnya.
Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang jelas, posisi ini justru bisa menjadi ladang penyalahgunaan wewenang.
Birokrasi yang Ada Bisa Mengambil Peran Ini
Seharusnya, birokrasi yang ada bisa mengerjakan tugas Staf Khusus. Kementerian memiliki pejabat eselon dan berbagai direktorat yang bertanggung jawab dalam menyusun dan menjalankan kebijakan.
Jika sistem birokrasi berjalan dengan baik, maka keberadaan Staf Khusus menjadi tidak relevan dan hanya membebani anggaran.
Negara-negara lain memang memiliki posisi serupa, tetapi mereka membatasi jumlahnya dan menetapkannya melalui mekanisme seleksi yang lebih ketat.
Sebaliknya, di Indonesia, penunjukan Staf Khusus sering kali lebih bernuansa politis ketimbang profesional.
Pemerintah Perlu Melakukan Perubahan
Kalau pemerintah mau menerapkan tata kelola yang baik, perlu ada evaluasi serius soal keberadaan Staf Khusus.
Dalam hal ini, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah, antara lain:
- Pembatasan jumlah Staf Khusus di setiap kementerian dan lembaga agar tidak terjadi pemborosan anggaran.
- Peningkatan transparansi, misalnya dengan mewajibkan Staf Khusus melaporkan kinerja mereka kepada publik secara berkala.
- Mekanisme seleksi yang lebih ketat, memastikan hanya individu dengan kompetensi tinggi yang bisa menduduki posisi tersebut.
- Pejabat dalam struktur organisasi kementerian atau lembaga harus menjalankan tugas secara langsung tanpa mengandalkan Staf Khusus, sehingga peran birokrasi formal semakin kuat.
Tanpa perubahan yang jelas, posisi Staf Khusus akan terus menjadi simbol inefisiensi pemerintahan dan pemborosan anggaran yang merugikan rakyat.
Jika pemerintah ingin membuktikan komitmennya terhadap efisiensi dan transparansi anggaran yang gencar mereka lakukan, maka penghapusan atau minimal pembatasan peran Staf Khusus harus menjadi prioritas.
Karena pada akhirnya, pemerintah menunjukkan kualitasnya melalui kebijakan yang berdampak nyata bagi rakyat, bukan dengan mengangkat banyak penasihat.
Penulis : Ikhwan Rahmansyaf