Nusantara Media – Bulan suci Ramadhan selalu identik dengan suasana penuh berkah, semangat ibadah, dan kebersamaan.
Namun, tahun ini, beberapa orang merasa bahwa nuansa Ramadhan tidak sekuat seperti dulu.
“Feel Ramadhan” yang biasanya terasa di jalanan, masjid, atau pusat perbelanjaan, kini seakan meredup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tapi, apakah benar suasana bulan penuh berkah ini berubah, atau justru ini hanya perspektif pribadi saja? Seorang pengguna media sosial mengungkapkan keluhannya tentang Ramadhan yang terasa hambar.
Suasana Memudar atau Perspektif Kita?

Respons yang didapat pun beragam. Salah satu warganet dengan nada bercanda menanggapi, “Bro, lu ga pernah keluar rumah sejak 1 Maret 2025.”
Bisa jadi, memang ada perbedaan, tapi mungkin juga penyebabnya bukan Ramadhan yang berubah, melainkan kita sendiri.
Mungkin kamu terlalu sering mengurung diri di kamar, sibuk scroll media sosial, nonton netflix dari malam ketemu malam, atau hanya main game seharian. Kalau begitu, wajar saja kalau Ramadhan terasa biasa saja.
Namun, di luar sana, ada juga orang-orang yang merasa “feel” Ramadhan berbeda bukan karena jadi nolep, tapi karena mereka sudah memasuki fase dewasa.
Dulu, saat masih kecil, bulan puasa terasa penuh keceriaan, ada buka bersama keluarga, ngabuburit, main petasan, atau nungguin bedug maghrib dengan teman-teman.
Tapi sekarang? Banyak orang harus bekerja seharian, mengurus keluarga, dan menghadapi tanggung jawab yang lebih besar. Waktu untuk menikmati Ramadhan seperti dulu jadi semakin terbatas.
Terlepas dari itu, esensi Ramadhan tetap sama yaitu bulan penuh berkah, kesempatan memperbanyak ibadah, dan momen untuk memperkuat hubungan dengan sesama.
Ciptakan Kembali Makna Bulan Penuh Berkah

Mungkin, alih-alih mencari suasana di luar, kita bisa mulai menciptakannya sendiri. Bagaimana kalau tahun ini, kita coba lebih hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga dengan hati?
Jadi, kalau puasa terasa berbeda, mungkin bukan karena suasananya yang memudar, tapi karena cara kita menjalani dan merasakannya yang berubah.
Bukan lagi tentang serunya menunggu bedug dengan teman-teman di lapangan, tapi bagaimana kita bisa tetap menjaga makna dan keberkahan di tengah kesibukan.
Bulan ini tetaplah istimewa, hanya saja kita yang kini melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Pada akhirnya, feel Ramadhan itu bukan sekadar soal euforia, tapi tentang bagaimana kita mengisi bulan ini dengan sesuatu yang berarti.
Mau seramai atau sesepi apa pun suasana di luar sana, Ramadhan tetap menjadi momen untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Jadi, daripada sibuk mencari “rasa” yang hilang, kenapa tidak kita ciptakan sendiri?