Pemerintah akan menghidupkan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengungkapkan hal tersebut di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, pada Jumat (11/4/2025).
“Jurusan (di SMA) akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada surusan lagi. IPA, IPS, dan Bahasa,” ungkap Mu’ti.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun Mendikdasmen Abdul Mu’ti sudah memastikan penghidupan kembali jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ia belum menentukan tanggal pasti pelaksanaan penjurusan di SMA.
Jurusan IPA, IPS dan Bahasa Menunjang Pelaksanaan TKA

Mu’ti menjelaskan bahwa pemerintah akan kembali menerapkan penjurusan di SMA untuk mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang menggantikan Ujian Nasional (UN).
Pemerintah akan melaksanakan TKA untuk jenjang SMA mulai November 2025, dan kemungkinan besar akan memulai penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa tahun ini.
Dalam TKA, siswa akan mengerjakan ujian berdasarkan mata pelajaran yang mereka pelajari di masing-masing jurusan. Oleh karena itu, pemerintah akan mengembalikan penjurusan seperti semula.
Untuk ujian TKA, pelajaran wajib mencakup Bahasa Indonesia dan Matematika.
Siswa jurusan IPA akan memilih tambahan antara Fisika, Kimia, atau Biologi, sementara siswa IPS dapat memilih antara Ekonomi, Sejarah, atau mata pelajaran lain yang termasuk dalam rumpun ilmu sosial.
Penghapusan Penjurusan dan Penerapan Kurikulum Merdeka

Pemerintah menghapus penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa pada masa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim di periode 2019-2024.
Anindito Aditomo, yang saat itu menjabat Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), menjelaskan bahwa mereka menghapus jurusan ini untuk mengurangi ketidakadilan yang timbul dari preferensi orang tua yang cenderung memilihkan anak mereka untuk masuk jurusan IPA.
Anindito menjelaskan bahwa banyak orangtua memilihkan anaknya untuk masuk jurusan IPA karena mereka menganggap jurusan ini memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam memilih program studi di perguruan tinggi.
Ia mengatakan, “Salah satunya itu (karena orangtua rata-rata memilihkan anaknya masuk IPA). Kalau kita jurusan IPA kita bisa memilih jurusan lain,” saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (15/7/2024).
Menurutnya, orangtua cenderung berpikir rasional dan menginginkan anak mereka masuk jurusan IPA agar dapat memilih berbagai prodi saat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Akibatnya, banyak siswa jurusan IPA yang memilih program studi yang biasanya diminati oleh siswa jurusan IPS dan Bahasa, sehingga mereka membuat kuota untuk jurusan IPS dan Bahasa semakin terbatas.
Sebagai solusi, Anindito menyarankan untuk menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, dan menggantinya dengan sistem pemilihan mata pelajaran sesuai dengan minat siswa.
Ia menambahkan bahwa siswa akan mendapatkan kebebasan lebih besar untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Pilihan Mata Pelajaran Fleksibel dalam Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka mengatur bahwa siswa kelas 11 dan 12 SMA yang menerapkan kurikulum ini dapat memilih mata pelajaran pilihan.
Pemilihan tersebut disesuaikan dengan kemampuan, minat, dan rencana mereka untuk studi lanjut atau karir.
Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita untuk kuliah di Prodi Teknik bisa memilih pelajaran Matematika tingkat lanjut dan Fisika, tanpa perlu mengambil Biologi.
Sebaliknya, siswa yang ingin berkuliah di Prodi Kedokteran bisa memilih Biologi dan Kimia, tanpa harus mengambil Matematika tingkat lanjut.
Anindito berpendapat bahwa pendekatan ini membantu siswa fokus membangun pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi mereka.
Ia juga menilai bahwa sistem jurusan IPA, IPS, dan Bahasa menghalangi siswa untuk mendapatkan persiapan mendalam. Hal ini mengurangi fokus siswa pada rencana karir mereka.
Dengan adanya pembagian jurusan, banyak siswa yang memilih IPA, meski itu belum tentu sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Kurikulum Merdeka mendorong siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka dengan lebih leluasa.
Selain itu, kurikulum ini memberi kesempatan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan rencana karir mereka.
Dampak Penghapusan Jurusan SMA

Terkait dengan penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, Tuti Budirahayu, Dosen Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), menilai bahwa kebijakan ini membawa dampak negatif, khususnya bagi pelajar dari jurusan IPS dan Bahasa.
Tuti menjelaskan bahwa pelajar yang memilih jurusan IPS dan Bahasa lebih merasakan dampak tersebut. Mereka cenderung menerima pandangan masyarakat yang membedakan mereka berdasarkan karakter, kecerdasan, dan perilaku.
“Mereka yang masuk ke jurusan IPS dan Bahasa cenderung mendapatkan label sebagai anak-anak nakal, bandel, dan tidak secerdas anak-anak jurusan IPA,” kata Tuti dikutip dari laman resmi Unair, Rabu (31/7/2024).
Tuti menjelaskan, konstruksi sosial tersebut terus berlanjut setelah siswa lulus dan memasuki dunia pendidikan lanjutan atau pekerjaan.
Menurut Tuti, masalah lain adalah siswa jurusan IPA memiliki peluang lebih besar melanjutkan ke berbagai jurusan di perguruan tinggi.
Mereka tidak hanya memilih jurusan yang seharusnya menjadi bagian mereka. Siswa IPA juga memasuki jurusan yang sebelumnya didominasi oleh siswa IPS dan Bahasa.
Tuti menambahkan, diskriminasi terhadap siswa IPS dan Bahasa muncul karena anggapan mereka kurang mahir dalam berlogika, matematika, atau ilmu eksakta.
Akibatnya, mereka sering kali dianggap berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan siswa dari jurusan IPA.
Tuti juga menegaskan bahwa pihak terkait harus menerapkan kebijakan penghapusan sistem penjurusan ini dengan baik. Mereka perlu memastikan implementasinya berjalan hati-hati.
Seluruh pihak sekolah, pemerintah, siswa, dan orangtua harus berperan aktif dan mendukung kebijakan tersebut.
Menurut Tuti, di tengah penerapan Kurikulum Merdeka, guru kini harus menanggung beban yang lebih berat dalam menjalankan tugas mereka.
“Sebaliknya, orangtua masih minim pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan pendidikan baru di era Menteri Nadiem Makarim,” tandas Tuti.
Penulis : Ikhwan Rahmansyaf
Editor : Redaksi