Jakarta . Nusantara.media– Menjelang berakhirnya masa jabatan Dewan Pers periode 2022-2025 pada bulan Mei mendatang, muncul kontroversi terkait proses pemilihan anggota baru. Dewan Pers, yang seharusnya melibatkan seluruh organisasi pers di Indonesia, justru membentuk Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) secara sepihak dengan melibatkan 13 orang tanpa partisipasi dari organisasi pers lainnya.
Dewan Pers dituduh mengambil alih kewenangan organisasi pers dan mengatur sendiri tahapan pemilihan anggota. Anehnya, proses rekrutmen anggota Dewan Pers yang seharusnya dilakukan melalui organisasi pers, malah dilakukan dengan menyebarkan flyer digital kepada masyarakat umum. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan bahwa organisasi pers lah yang berhak menentukan keanggotaan Dewan Pers.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa Dewan Pers saat ini merupakan kelanjutan dari keanggotaan Dewan Pers sebelumnya. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilihan anggota Dewan Pers harus melibatkan 40 organisasi yang terdaftar hingga tahun 2020, termasuk organisasi pers berbadan hukum lainnya. Namun, Dewan Pers tampaknya mengabaikan putusan ini dan tetap melanjutkan proses pemilihan dengan cara yang dipertanyakan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejarah mencatat bahwa Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 2000 oleh para tokoh organisasi pers setelah sebelumnya dibubarkan. Namun, dalam praktiknya, Dewan Pers tidak memiliki kekuatan dan legitimasi di mata pemerintah. Pada tahun 2006, Dewan Pers bahkan harus meminta dukungan dari organisasi pers untuk memperkuat posisinya. Sayangnya, peraturan yang disepakati bersama justru disalahgunakan oleh Dewan Pers untuk mengatur konstituen secara sepihak.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya dugaan bahwa Dewan Pers dikuasai oleh oligarki media yang berusaha mempertahankan monopoli dalam industri periklanan. Dengan menguasai hampir 90 persen belanja iklan nasional, oligarki ini berpotensi mengabaikan kepentingan media lokal dan non-mainstream. Dewan Pers, yang seharusnya menjadi pengayom, malah dituduh membiarkan praktik kartel yang merugikan media kecil.
Melihat kondisi ini, banyak pihak menilai bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu segera direvisi. Dengan perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, regulasi yang ada saat ini dianggap sudah ketinggalan zaman. Selain itu, kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang terjadi akibat rekomendasi Dewan Pers juga menjadi alasan mendesak untuk melakukan revisi.
Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto, diharapkan dapat mengambil sikap tegas dalam menanggapi situasi ini. Dengan menghormati putusan MK dan melibatkan semua organisasi pers dalam pemilihan anggota Dewan Pers, diharapkan hak-hak konstitusi insan pers dapat terjamin dan terhindar dari cengkeraman oligarki.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menciptakan regulasi yang lebih adil dan merata dalam distribusi belanja iklan nasional, sehingga media lokal juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Penulis : Mis