Jakarta, Nusantara.media— Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia telah menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. Tersangka tersebut adalah Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne, VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga. Keduanya ditangkap pada 26 Februari 2025 dan kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.
Penyelidikan dimulai pada tahun 2018, ketika Kejagung mencurigai adanya praktik korupsi dalam pengadaan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) oleh PT Pertamina dan kontraktor-kontraktornya.
Penetapan Tersangka Awal (Februari 2025):
Pada 24 Februari 2025, Kejagung mengumumkan penetapan tujuh tersangka, termasuk Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, dan beberapa pejabat lainnya. Penetapan ini diikuti dengan penangkapan Maya dan Edward pada 26 Februari 2025
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Maya dan Edward diduga terlibat dalam pembelian BBM jenis RON 90 dengan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya, yaitu setara dengan RON 92 atas izin Riva Siahaan. Selanjutnya tersangka maya memberikan izin kepada Edward untuk melakukan blending alias pengoplosan pertamix dari RON 88 jadi RON 92, jadilah RON 92, Atau Pertalite di oplos jadi Pertamax dan dijual dengan harga Pertamax.
Proses blending yang dilakukan oleh Maya dan Edward terjadi di storage terminal PT Orbit Terminal Merak, yang dimiliki oleh Kerry Riza. Hal ini menunjukkan adanya kolusi antara pejabat Pertamina dan pihak swasta dalam praktik korupsi ini. Muhammad Kerry Andrianto Riza, yang merupakan anak dari pengusaha minyak Riza Chalid, terlibat sebagai pemilik manfaat (beneficial owner) dari PT Navigator Khatulistiwa.
Kejagung mengungkap modus blending yang digunakan para tersangka, di mana RON 88 di-blending dengan RON 92 dan dipasarkan seharga RON 92. Proses ini dilakukan di terminal PT Orbit Terminal Merak, yang merupakan lokasi strategis untuk pengolahan dan distribusi BBM. Maya dan Edward jugalah yang mengatur pembayaran impor dengan metode yang merugikan.
Kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan korupsi ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 193,7 triliun (2023), yaitu mencapai Rp 968,5 triliun (2018-2023), yang mencakup kerugian dari ekspor dan impor minyak mentah serta biaya pengiriman yang tidak sesuai.
Penulis : Ali