Konflik agraria di Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, antara warga dan TNI AD bermula pada 1995-1996. Saat itu, TNI menggelar latihan militer di lahan garapan warga yang telah mereka kelola sejak sebelum kemerdekaan.
Pada 1997, TNI memberikan kompensasi Rp250 per meter persegi atas kerusakan tanaman, seperti sawah dan kelapa muda. Warga menegaskan bahwa kompensasi ini bukan pembelian lahan, melainkan ganti rugi. Namun, tidak semua warga menerima kompensasi, dan mereka tetap menggarap lahan tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Eskalasi Konflik pada Tahun 2000 dan 2012Pada tahun 2000, sekelompok orang yang mengaku perwakilan TNI AD menuntut bagi hasil dari kebun dan sawah warga, dengan klaim bahwa lahan telah mereka beli pada 1996-1997. Warga menolak karena tidak ada bukti jual beli.
Ketegangan kembali memuncak pada 2012, ketika TNI AD berencana membangun pos militer di Rancapinang. Warga menolak rencana ini, sehingga TNI memindahkan pembangunan pos ke Desa Tugu, Kecamatan Cimanggu.
Klaim TNI AD dan Sertifikat Hak Pakai 2024Pada 2024, TNI AD mengklaim lahan garapan warga sebagai bagian dari Sertifikat Hak Pakai (SHP) seluas 376 hektare. Menurut Danramil Cimanggu, Kapten Infanteri Supandi, lahan tersebut berstatus Tanah Negara (TN) sejak 1997.
Ia menyebut kompensasi 1997 untuk garapan, bukan kerusakan lahan, dan mengklaim bukti pembebasan lahan tersimpan di Markas Zibang III Siliwangi. Namun, Supandi mengakui sebagian warga tidak mengetahui proses pembebasan tersebut, menyebabkan pro dan kontra.Sebaliknya,
Kepala Desa Rancapinang, M. Epan Kusmana, menyatakan bahwa SHP 2012 terbit tanpa musyawarah. Kepala desa saat itu tidak mengetahui atau menandatangani dokumen warkah. Warga tetap menguasai lahan dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB), memperkuat klaim mereka atas tanah leluhur.
Eksekusi Lahan dan Konflik Terbuka 2025Pada Mei 2025, warga menolak rencana pembangunan markas TNI AD. Namun, pada 2 Juni 2025, TNI AD mengeksekusi lahan seluas 5 hektare milik 23 warga untuk markas komando, memicu konflik terbuka. Warga merasa hak atas tanah turun-temurun mereka terlanggar.
Kasus ini menjadi sorotan nasional sebagai contoh sengketa agraria antara institusi negara dan masyarakat adat.Sorotan Media Sosial dan Tuntutan WargaKonflik ini ramai di media sosial, dengan banyak pihak menyerukan penyelesaian adil melalui dialog.
Warga Rancapinang menuntut pemerintah pusat dan daerah melindungi hak mereka atas lahan leluhur. Mereka juga meminta transparansi TNI AD terkait bukti kepemilikan lahan dan proses penerbitan SHP. Hingga kini, Kementerian ATR/BPN belum memberikan pernyataan resmi tentang status SHP tersebut.
Harapan Mediasi dan Pentingnya TransparansiPemerintah Kabupaten Pandeglang diharapkan memfasilitasi mediasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Kasus ini menegaskan pentingnya kejelasan status lahan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat.
Penyelesaian yang adil dan transparan menjadi kunci untuk meredakan konflik agraria di Rancapinang.
Penulis : Redaksi