Desa Sindang Laut, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, sedang menghadapi sorotan publik terkait dugaan pemotongan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) sebesar Rp900.000. Namun, pihak desa dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan menjelaskan proses penyaluran bantuan secara transparan.
Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sindang Laut, Saeful, mengungkapkan bahwa tim desa telah menggelar musyawarah bersama RT, RW, pendamping desa, dan pihak kecamatan untuk menentukan penerima manfaat (KPM).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami memastikan hanya warga kategori miskin ekstrem yang menerima BLT DD,” ujar Saeful. Ia menambahkan, musyawarah ini bertujuan untuk menjaga transparansi dan keadilan.
Sebagai contoh, dua KPM, yaitu Ibu Kaimah dan Ibu Ranah, menjadi penerima BLT DD tahap kedua. Keduanya merupakan lansia dengan kondisi ekonomi memprihatinkan. Berdasarkan hasil musyawarah, Ibu Kaimah menerima Rp400.000, sementara Ibu Ranah mendapatkan Rp500.000.
“Keputusan ini kami ambil bersama untuk memenuhi kebutuhan mereka,” tambah Saeful.
Sementara itu, Penjabat (PJ) Desa Sindang Laut, Iyang Aolani, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah memotong dana BLT DD. Ia menjelaskan, setiap penyaluran bantuan selalu melalui musyawarah untuk menghindari miskomunikasi. “Kami ingin menjaga kekompakan.
Jika ada masalah, mari kita rundingkan terlebih dahulu sebelum mempublikasikannya,” kata Iyang.
Nainus, staf kesejahteraan rakyat (kesra) desa, juga memberikan klarifikasi. Ia menyebutkan bahwa tuduhan pemotongan hanya muncul dari satu KPM. Setelah tim desa melakukan pengecekan, dana BLT DD ternyata telah disalurkan secara utuh kepada penerima yang memenuhi syarat.
Namun, Nainus menyayangkan terbatasnya kuota BLT DD, yang hanya mencakup 10 KPM. “Padahal, sekitar 200 warga lansia di desa ini membutuhkan bantuan,” ungkapnya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah meningkatkan kuota BLT DD agar distribusi bantuan lebih merata.
Pihak desa juga mengimbau masyarakat untuk tidak langsung melapor tanpa klarifikasi. “Mari kita musyawarahkan dulu untuk menemukan solusi terbaik bersama,” tutup Iyang. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya komunikasi terbuka dan transparansi dalam pengelolaan bantuan desa.
Penulis : Redaksi