Jakarta, Nusantara Media – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja merilis capaian terbaru dari Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, dengan skor nasional sebesar 69,50.
Angka ini menunjukkan bahwa secara umum integritas dalam dunia pendidikan Indonesia masih berada dalam tahap perbaikan.
Meski berbagai pihak telah mulai membenahi nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi, mereka masih belum melaksanakan dan mengawasinya secara menyeluruh, berkesinambungan, dan optimal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai perbandingan, pada tahun 2023, skor integritas pendidikan Indonesia mencapai angka 73,70.
Integritas Pendidikan Menurun, Praktik Pelanggaran Masih Marak

Namun, saat itu banyak pihak masih melakukan berbagai pelanggaran, seperti ketidakjujuran akademik, pemberian gratifikasi kepada pendidik, dan penyimpangan dana BOS.
Wawan Wardiana, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, menjelaskan bahwa perluasan cakupan responden dan wilayah survei telah menurunkan nilai indeks tahun ini.
“Sehingga secara statistik, makin banyak responden, makin beragam. Masukannya lebih banyak lagi,” kata dia di Gedung Pusat Antikorupsi KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis, 24 April 2025.
Survei 2024 mencatat bahwa praktik menyontek masih sangat umum terjadi. Di perguruan tinggi, 98 persen responden mengakui adanya praktik tersebut.
Sementara di sekolah, tercatat sekitar 78 persen institusi pendidikan masih menghadapi kasus serupa. Selain itu, 43 persen pelajar dan 58 persen mahasiswa mengaku pernah menyontek.
Untuk kasus plagiarisme, data menunjukkan praktik ini terjadi di 43 persen universitas dan 6 persen sekolah.
Ketidakdisiplinan dan Gratifikasi Merusak Citra Pendidik

Di sisi lain, ketidakdisiplinan juga menjadi perhatian.
Sebanyak 45 persen pelajar dan 84 persen mahasiswa menyatakan pernah datang terlambat ke sekolah atau kampus.
Para tenaga pendidik juga menunjukkan ketidaktertiban; menurut persepsi siswa, 69 persen guru sering datang terlambat.
Sedangkan dari sisi mahasiswa, 96 persen menyatakan dosen mereka juga kerap absen.
“Bahkan di 96 persen dan 64 persen sekolah ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas,” kata dia.
Terkait gratifikasi, wali murid di 22 persen sekolah masih memberikan bingkisan kepada guru sebagai upaya untuk menaikkan nilai siswa.
“Bahkan, menurut orang tua di 22 persen sekolah, masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus,” kata Wawan.
Temuan lain menyebutkan bahwa 30 persen pendidik dan 18 persen kepala sekolah atau rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau orang tua sebagai sesuatu yang wajar.
Di 60 persen sekolah, pemberian bingkisan saat hari raya atau kenaikan kelas masih menjadi praktik umum di kalangan orang tua.
Pengadaan dan Dana BOS Sarat Masalah

Pengadaan barang dan jasa juga sarat masalah. Pengelola di 68 persen perguruan tinggi memilih vendor karena hubungan personal, dan pihak sekolah di 43 persen sekolah juga melakukan praktik serupa.
Wawan menambahkan, vendor memberi komisi kepada pihak internal di 26 persen sekolah dan 68 persen kampus.
Masalah transparansi juga mencuat, dengan 75 persen sekolah dan 87 persen perguruan tinggi tercatat menjalankan proses pembelian barang secara tidak terbuka.
Sebanyak 12 persen sekolah menggunakan dana BOS tidak sesuai dengan ketentuan. Sementara itu, 17 persen lainnya terindikasi melakukan pungutan liar atau pemotongan dana BOS.
Praktik nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa ditemukan di 40 persen sekolah. Penggelembungan anggaran tercatat di 47 persen sekolah, dan pelanggaran lain masih berlangsung di 42 persen institusi pendidikan.
Pungutan liar pada proses penerimaan peserta didik baru ditemukan di 28 persen sekolah. Pungutan serupa juga terjadi dalam pengurusan sertifikasi atau dokumen lainnya di 23 persen sekolah dan 60 persen perguruan tinggi.
Penulis : Ikhwan Rahmansyaf