Polda Lampung secara resmi meningkatkan status kasus kematian Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila) jurusan Bisnis Digital angkatan 2024, ke tahap penyidikan. Sebelumnya, sejak Juni 2025, polisi telah melakukan penyelidikan intensif.
Pada 20 Juni 2025, polisi memeriksa 52 saksi, termasuk 11 panitia Diksar Mahepel, 28 alumni, dan satu tenaga medis yang merawat Pratama. Selama perawatan, dokter menemukan tumor otak pada korban. Pratama meninggal dunia pada 28 April 2025, setelah mengikuti Diksar Mahepel di Gunung Betung, Pesawaran, pada November 2024. Namun, keluarga Pratama menolak hasil forensik tersebut. Wirnawati, ibu korban, menegaskan, “Pratama tidak pernah mengalami sakit berat, apalagi tumor otak,” saat berada di Mapolda Lampung, Selasa (7/10/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konferensi pers pada Selasa (7/10/2025), Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Lampung, Kombes Pol Yuldi Yusman, menyatakan bahwa pihaknya menemukan bukti kuat adanya kekerasan. “Kami telah mengumpulkan keterangan saksi, surat, petunjuk ahli, dan barang bukti yang mengarah pada tindakan kekerasan,” ungkapnya. Meski demikian, dokter forensik menjelaskan bahwa tumor otak mengeluarkan cairan yang memperumit analisis. Saat ini, polisi masih mendalami pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Yuldi menegaskan, “Polda Lampung berkomitmen menangani kasus ini secara transparan dan tegas.”
Kematian Pratama memicu gelombang protes dari mahasiswa Unila. Antara Mei hingga Juni 2025, ratusan mahasiswa FEB menggelar aksi menuntut keadilan. Sebagai respons, Unila membentuk tim investigasi independen pada 4 Juni 2025, yang melibatkan Polda Lampung dan perwakilan mahasiswa untuk menjamin transparansi. Selain itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Sunyono, mengumumkan pembekuan sementara kegiatan Mahepel. “Kami memperketat pengawasan aktivitas mahasiswa untuk mencegah kejadian serupa,” ujarnya.
Sejak September 2025, keluarga Pratama mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kuasa hukum keluarga, Icen Amsterly, melaporkan adanya intimidasi terhadap saksi. “Keluarga dan beberapa korban lain menghadapi ancaman dan intervensi,” katanya. Oleh karena itu, LPSK kini memastikan keamanan pihak-pihak terkait.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi Unila untuk memperbaiki pengawasan kegiatan kemahasiswaan. Polda Lampung berjanji untuk memberikan pembaruan setelah penyidikan mendalam selesai. Sementara itu, publik terus menanti kejelasan dan keadilan dalam kasus tragis ini.
Penulis : M. Husni
Sumber Berita: konferensi pers Polda Lampung