Kepulauan Riau, Nusantara Media –
Penerbitan dokumen pertanahan oleh PT. Surya Singkep Pratama (SSP) untuk pengajuan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) di Desa Marok Tua, Kecamatan Singkep Barat, memicu kontroversi besar. Perusahaan ini mengklaim kepemilikan lahan seluas 25.062.394,65 meter persegi. Namun, Pemerintah Desa Marok Tua dan Kecamatan Singkep Barat mempertanyakan legalitas dokumen tersebut. Mereka menyatakan bahwa tidak ada catatan registrasi resmi di arsip desa maupun kecamatan.
Camat Singkep Barat, Febrizal Taufik, secara tegas menyatakan bahwa pihak kecamatan tidak pernah mendaftarkan dokumen yang digunakan PT. SSP. “Surat itu terbit sebelum saya menjabat. Namun, saya sudah meminta staf untuk memeriksa arsip surat tanah atau sporadik, dan kami tidak pernah terlibat dalam penerbitan dokumen tersebut,” ungkap Febrizal pada Selasa, 26 Agustus 2025. Selain itu, ia menegaskan bahwa PT. SSP tidak pernah melibatkan kecamatan dalam proses pengurusan dokumen lahan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Kepala Desa Marok Tua, Nurdin, juga membenarkan bahwa dokumen rekomendasi untuk PT. SSP tidak terdaftar di arsip desa. “Saya telah memeriksa berkali-kali, dan tidak ada arsip atau register terkait dokumen tersebut. Surat itu jelas bukan diterbitkan oleh desa,” tegas Nurdin pada Minggu, 24 Agustus 2025. Ia menduga bahwa oknum tertentu menerbitkan dokumen tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah desa.
Menurut penelusuran Nurdin, dokumen kontroversial tersebut berawal dari kegiatan pembukaan lahan yang melibatkan masyarakat setempat. Warga membentuk kelompok untuk membuka lahan dengan imbalan upah antara Rp1 juta hingga Rp2 juta per hektare. Namun, Nurdin menegaskan bahwa masyarakat hanya menerima upah, bukan menyerahkan hak atas lahan. “Tidak ada warga yang mengeluarkan surat atau menjual lahan kepada PT. SSP,” jelasnya.
Berdasarkan data dari sistem Online Single Submission (OSS), PT. SSP mengklaim kepemilikan lahan seluas lebih dari 25 juta meter persegi di Desa Marok Tua. Akan tetapi, ketiadaan registrasi di desa dan kecamatan menimbulkan kecurigaan bahwa dokumen pendukung tersebut tidak sah. Hal ini memperkuat dugaan adanya pelanggaran dalam proses penerbitan dokumen.
Kasus ini kini menjadi perhatian serius dan tengah diselidiki oleh Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau. Beberapa pihak telah dipanggil untuk memberikan keterangan terkait dugaan penerbitan surat palsu. Pemerintah setempat berharap penyelidikan ini segera membuahkan hasil untuk menjaga kepercayaan publik terhadap administrasi pertanahan. Hingga kini, PT. SSP belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan ini.
Kontroversi ini menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan dokumen pertanahan. Pemerintah desa dan kecamatan terus mendorong penyelesaian kasus ini secara hukum. Sementara itu, masyarakat menanti kejelasan agar hak mereka atas lahan tetap terlindungi.
Penulis : Awang Sukowati