Di tengah luka pasca-tsunami Selat Sunda 2018, kisah Selpia, gadis kecil kelahiran Tahun 2004, mengguncang hati. Anak kedua dari empat bersaudara ini, yang lahir prematur, kini berjuang melawan gizi buruk di Hunian Tetap (Huntap) Kampung Sukamerenah, Desa Banyumekar, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten.
keluarga Selpia, anak dari pasangan Dawi (48) dan Sakum (54), kehilangan bantuan sosial yang dulu menjadi penopang hidup mereka.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Selpia, dengan tubuh kecilnya yang rapuh, mencerminkan nasib kelam korban tsunami yang terabaikan. Setelah bencana menghantam, keluarga ini pindah ke Huntap dengan harapan menjalani kehidupan lebih baik. Sayangnya, kenyataan justru memukul mereka.
Dawi, sang ayah, berbagi kepedihan, “Kami hanya mengandalkan penghasilan seadanya. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi membiayai pengobatan Selpia.”
Karena lahir prematur dengan berat badan di bawah normal, ia membutuhkan perawatan intensif dan asupan gizi memadai. Namun, keterbatasan ekonomi memaksa keluarga hanya menyediakan makanan seadanya, jauh dari standar gizi yang mendukung tumbuh kembangnya.
Selain itu, kisah Selpia bukanlah kasus terisolasi. Banyak keluarga di Huntap Banyumekar mengeluh karena minimnya perhatian pemerintah pasca-relokasi. Meskipun pemerintah pernah menjanjikan bantuan seperti akses kesehatan dan pangan, kenyataannya, bantuan itu kini nyaris sirna.
Yn, seorang tetangga, mengungkapkan kekecewaan, “Seolah-olah kami ditinggalkan. Setelah tsunami, perhatian perlahan memudar.”
Kisah Selpia menyoroti kegagalan sistem dalam menjamin kehidupan layak bagi korban bencana. Akibatnya, publik mulai bersuara di media sosial, menyerukan perhatian nasional untuk anak-anak seperti Selpia. Yn seorang aktivis Labuan, menegaskan, “Negara harus hadir untuk mereka yang paling rentan. Selpia membutuhkan kita semua.”
masa depan Selpia dan anak-anak lain di Huntap terancam suram. Mereka bukan hanya korban bencana alam, tetapi juga korban ketidakpedulian sistem. Akankah suara Selpia didengar, atau kisahnya hanya menjadi catatan kelam lain dari bencana yang telah lama berlalu?
Penulis : Redaksi